Batu Namun Hargailah
Pak Pri membuka amplop berwarna putih. Hatinya berbinar mendapatkan berita surat tersebut. Tidak terbayang apa yang ada didalam amplop tersebut. Keringatnya mulai mengucur, kacamatanya mulai beruap, dahinya mulai berkerut, pertanda yang sangat-sangat tidak enak. Arien yang saat itu masih mendengarkan musik akhirnya mulai terpaku pada ayahnya.
Ternyata didalam amplop berisikan surat dari Sekolah yang didiami Arien selama ini. Yang bertuliskan "anak bapak sekarang dalam masa percobaan, kami harapkan bapak.ibu dapat mengikuti kegiatan di sertakan pembelajaran yang setara sehingga dapat mengimbangi Nilai yang ada. Atau anak bapak/ibu kami kembalikan." selesai membaca dengan penuh keherana, Pak Pri langsung mengambil Rapor yang tadi di letakkan di atas kursi dan ternyata Nilainya merah semua, sungguh kaget bukan main Pak Pri.
Mendengar itu, Arien langsung mematikan musik dan menembunyikan Handphone dibalik bantal. Dengann mata yang merah Pak Pri langsung menjewer kuping Arien beserta pertanyaan-pertanyaan yang dilimpahkan bersamanya. Namun sepertinya omongan tersebut hanya masuk telinga kanan keluar telinga kiri.
Arien sebenarnya adalah sosok yang pendiam dingin, dia juga akrab dengan beberapa temannya, namun tidak dengan sisanya, dia sendiri bingung. Apa yang salah dengan dirinya, namun dia tetap santai sampai saat ini.
Malamnya Arien hanya melamun memikirkan kejadian tadi siang, memang betul kata Bapaknya tadi, nilainya yang anjlok bisa membuatnya tidak naik kelas. Tanpa pikir panjang Arien langsung mengambil buku dan membacanya, walaupun mengantuk dia tetap membaca. Memang seperti biasanya dia hanya belajar satu jam saja, sudah kebiasaan sejak dia SMP memang begitu, akhirnya Arien menutup buku dan pergi tidur. Pak Pri hanya melihat dan menggelengkan kepala. "kapan anak ini dapat belajar menghargai?" batin PakPri seraya menutup pintu dan tidur.
Libur semester pun selesai, saatnya sekolah dengan wajah yang baru, begitu pula dengan Arien yang telah menyiapkan buku-bukunya. "Pak Arien berangkat" belum dijawab oleh Pak Pri dia sudah menghilang. Pak Pri hanya keheranan larena asal suara tadi menghilang.
Sesampai disekolah, disana Arien melihat teman-teman sedang asik mengobrol, dengan bingungnya dia langsung menghampiri mereka. "Ah mungkin mereka sedang membahas nilai rapor yang dibagikan kemarin" pikirnya dalam hati. "pagi Rara, Tina, Rina, lagi membahas apa, kelihatannya serius sekali?" sapa Arien yang memang kebingungan dari tadi. "Nilaiku dibawah KKM semua Rien" jawab Tina. "Aku ada yang nilainya 20, parah sekali!" tambah Rina. Kalau kamu Rara, bagaimana? "gak perlu dibahas itu! Kamu kok terlihat santai begitu, pasti nilai kamu diatas KKM semua ya?" jawab Rara sambil bertanya. Hanya saja sebelum Arien menjawab pertanyaan temannya itu. Bel tanda masuk sekolah sudah berbunyi. Mereka pun duduk dibangku masing-masing.
Arien tidak tampak seperti teman-temannya, dengan wajah yang santai. Bahkan hal tersebut tetap berlangsung sampai bel tanda pulang sekolah berbunyi. Melihat ketiga sahabatnya langsung pulang entah kenapa. Akhirnya Arien pun bergegas pulang.
Sesampainya dirumah Arien hanya memikirkan ke-3 temannya yang langsung pulang. "ah mungkin mereka hanya capek saja" pikirnya dalam hati. Selesai makan siang, rasa suntuknya kambuh lagi. "Pak, Arien main" seperti halnya tadi pagi. Pak Pri belum sempat menyahutnya.
Dengan bingung sembari menendang krikil berwarna hitam pekat, permukaanya halus namun meruncing diujung lainnya. Mungkin seperti itu watak Arien yang bisa digambarkan selama ini. "Ah . . . Kenapa aku malah memikirkan batu ini" tidak sadar pandangannya tertuju pada sebuah objek yang tidak jelas. Setelah didekati ternyata objek tersebut adalah Rendi. "Hai!" sapa Rendi. "oh, hai juga"jawab Arien ketus. Dengan perasaan bersalah Rendi bertanya "ada apa kok wajahnya mengkerut? Wah pasti rapor kemarin ya?" "jangan sombong, walau pun nilai kamu diatas rata-rata, tapi aku tidak akan mengakuinya!" balasnya. Kali ini Rendi memang betul-betul sakit hati.
Sebenarnya Arien memang menaruh hati pada Rendi sejak lama, namun dia sendiri tidak mengetahui mengapa perasaan itu muncul begitu saja. Karena alasan ini juga berpengaruh pada kejadian barusan. "tadi Rendi sakit hati tidak ya? Semoga saja tidak" gumamnya dalam hati. "ya maklum lah suasana hati ini kan sedang tidak menentu!" tambahnya sambil tertawa kecil mengingat masalahnya yang tadi-tadi.
Dari sini Rendi menjadi semakin semangat, bahkan ada keingina untuk membuat Arien berubah. Maka tempat yang pertama kali Rendi datangi adalah tempat yang biasa dibuat Arien dan kawan-kawannya meluangkan waktu. "barusan Arien jalan-jalan sendirian, pasti dia tidak ada di tempat seperti biasanya" pikir Rendi. Dan ternya apa yang dipikirkannya benar. Yang ada hanyalah tiga orang Rara, Tina, dan Rina.
"hai Rara, Tina, Rina!" sapaan yang sama sebelumnya, namun dengan jawaban yang berbeda. Memang lama mereka berdiskusi akhirnya jalan keluar pun ditemukan. "sebaiknya kita juga meminta bantuan dari Pak Pri dia kan kepala desa di kampung kita sekaligus bapaknya Arien, betul tidak?" "wah usul bagus"Jawab Rendi seketika" "boleh-boleh" tambah Rara dan Tina. "Tapi besok saja, aku tidak sepenuhnya yakin untuk hari ini. Kita tunggu hari libur saja" tambah Rendi.
Tepat keesokan harinya Rendy langsung pergi kerumah Arien dengan membawakan sepucuk surat. Sebenarnya Arien sudah mengetahui rencana teman-temannya itu. Maka setelah Rendi pergi Arien pun membaca surat tersebut, ternyata berisikan sebuah cerpen yang sangat menyentuh hatinya, ceritannya seperti ini.
Di sebuah rumah yang sangat sederhana, lahirlah seorang bayi laki – laki, yang tampan. Ars, namanya. “Oe… Oe… Oe…” suara tangisan Ars sangat keras. Kedua orang tua Ars sangat senang menyambut kelahirannya, terutama sang Ayah. Setiap Ars menangis, sang Ayah pasti langsung menimang Ars. Betapa bahagianya kehidupan mereka.“Anakku… cup… cup…!, Ci.. Lu.. Baaa… ” hibur sang Ayah. “Ayah berangakat kerja cari uang buat beli susu ya anakku tersayang !”, sambil mencium kening Ars, Guman sang Ayah. Hal itu ia lakukannya setiap hari, berangkat kerja, pulang kerja. Sang Ibu yang sangat tulus merawat, mendidik Ars. Beliau juga tak lupa untuk memberikan sang Ars ASI selama 2 tahun.Selain ASI , Ars juga suka susu formula.
Semua momen penting, termasuk kehadiran Ars selalu di abadikan oleh sang ibu. Di foto, lalu di cetak, dan di sisipkan di album foto. Mulai dari Ars bisa merangkak, hingga berjalan.
Kebahagiaan itu pun tak berlangsung lama. Dua tahun sudah umur Ars, dan ia juga harus menerima kenyataan yang pahit. Ayahnya meninggal dunia karena tertabrak mobil di jalan raya, saat akan membelikan susu untuk Ars. Sang Ibu, sangat terpukul menghadapi cobaan yang ia alami pada saat itu. Sampai – sampai, bekas kardus susu untuk Ars, masih disimpan oleh ibunya.
Pada saat itu juga Ars masih belum tahu – menahu, apa yang sedang ia alami, tetapi, setiap malam ia selalu memanggil – manggil ayahnya. Ars semakin besar dan pandai, ia mulai menanyakan siapakah jati dirinya pada ibunya, dan saat itu pula ibunya juga menceritakan kejadian yang di alaminya.
“Oh , jadi seperti itu, baiklah Bu!, aku akan jadi anak yang berbakti !” seru Ars, hingga sang ibu meneteskan air mata.
Ars sudah berusia 7 tahun. Ia mulai menduduki bangku sekolah dasar. Ia juga menjadi siswa teladan di sekolahnya. Ia terkenal karena kepandaian, kecakapan, dan kesopanannya. Guru – Guru pun sangat menyayanginya. Banyak teman, dan tak ounya musuh satupun. Hebatkan ! dalam hal beribadah dia juga sangat jago, Sholat tanpa disuruh, Mengaji, semuanya ia bisa.
Sang ibu sangat bangga memiliki anak seperti Ars. Ia rajin membantu, patuh, pada ibunya. Tetapi, di balik kegembiraan ibunya, sang ibu menyimpan rahasia besar. Ibunya memiliki sebuah penyakit yang sangat ganas. Ars pun tak mengetahiunya sama sekali.
Setahun kemudian, genap sudah usianya, menjadi 8 tahun. Ia yang harusnya masih butuh kasih sayang, perhatian, nasehat dari ibunya, kini kandas. Ibunya meninggal dunia karena penyakitnya yang sangat ganas. Dalam mengahadapi hal tersebut, setetes air mata pun tak pernah jatuh dari bola mata Ars. Ia sangat tegar, bahkan bibirnya menjadi pucat, kering, karena ia selalu memanjatkan do’a kepada sang ibu tercinta.
Membaca surat dari teman-temannya Arien pun terharu, dia berjanji untuk merubah sikapnya selama ini.
THE END makasih buat yang udah baca . . . :) Ghesa ucapkan thank you!
No comments:
Post a Comment